“Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat.” (QS Asy Syura : 20).
Bagaimana agar mencari keuntungan di dunia, tapi akhirat juga dapat? Jawabannya dengan Ekonomi Syariah. Rubrik baru ini akan membahas tentang dunia keuangan yang bersifat syariah sebagai bekal kita dalam memajukan ekonomi pribadi dan umat. Artikel ini disadur dari tulisan pakar keuangan Islam Prita H. Gozhie. Selamat membaca.
Uang..uang…uang…kata “uang” tidak bisa dilepaskan dari keseharian kita sebagai manusia. Pernahkan terlintas dalam benak Anda, apa dan bagaimana sebenernya konsep uang dipandang dari sudut Ekonomi Islam? Kami mengajak Anda untuk mengetahui lebih dalam mengenai konsep uang dalam Ekonomi Islam melalui rangkaian artikel “Money Concept in Islamic Finance“.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho di antara kamu”.(Al Qur’an surat an Nisaa ayat 29)
“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang masuk padanya syaitan dari sentuhannya, demikian itu dengan sebab mereka mengatakan (berpendapat), sesungguhnya hanyalah jual beli itu seperti riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275)
Diperintahkan kepada semua orang yang beriman pada Tuhan YME untuk tidak mengambil harta sesama (atau mengambil keuntungan) dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho. Sehingga berarti bahwa jalan perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho adalah bukan jalan yang bathil. Demikian pula dalam surat Al Baqarah ayat 275 yang menyatakan bahwa jual-beli tidak sama dengan riba, dan Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Perlu dicermati bahwa obyek perniagaan bukanlah semata-mata barang dagangan saja, tetapi segala jenis barang (maal), jasa (amal), atau penggunaan suatu barang selama barang, jasa maupun penggunaan tersebut masih tergolong halal. Disamping itu, Allah SWT memberi ketentuan bahwa perniagaan tersebut harus berjalan secara ‘antaroddin’ atau ‘ridho sama ridho’. Karena itu perlu dikaji bagaimana menentukan ukuran ‘ridho sama ridho’ yang dimaksud dalam Firman Allah SWT tersebut di atas.
Untuk memahami konsep ‘ridho sama ridho’ marilah kita kaji hadits riwayat Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa pada suatu ketika Bilal menghidangkan kurma yang baik kepada Rasulullah dan Rasulullah saw. bertanya: Darimana kurma yang baik ini? Bilal menjawab: Saya menukar dua sha` kurma kita dengan satu sha` Barni yang baik ini. Rasulullah saw. bersabda: Janganlah berbuat begitu, ini riba. Tukarkan dengan jumlah yang sama, atau juallah ini (kurma kita) lalu belilah kurma yang baik dengan hasil penjualan (kurma kita) tadi.
Walaupun Bilal adalah sahabat Rasulullah SAW dan berbudi baik, sehingga hampir tidak mungkin berbuat bathil, Rasulullah SAW melarang Bilal melakukan transaksi ekonomi berupa tukar menukar kurma yang berbeda mutunya dengan ukuran yang berbeda –walaupun mungkin baik Bilal maupun pemilik kurma tidak berkeberatan dan melakukannya dengan suka hati (suka sama suka). Namun nilai pertukaran yang terjadi (dalam hal ini 2 banding 1) belum tentu memberikan nilai yang terbaik (karena mungkin seharusnya 1,9 banding 1 atau 2,2 banding 1).
Pelajaran yang diperoleh adalah bahwa diperlukan penilaian (valuation) yang jujur atas komoditi yang ditransaksikan. Dan pihak yang paling berkompeten untuk memberikan penilaian yang jujur adalah mekanisme pasar. Karena itu Bilal harus menjual terlebih dahulu kurma yang dimilikinya, untuk mendapat valuasi berupa uang hasil penjualan. Kemudian dengan daya beli yang dimilikinya, Bilal dapat memperoleh kurma dengan mutu yang berbeda.
Sehingga nilai jual dan beli akan ditentukan oleh mekanisme pasar (demand-supply), oleh karena itu perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho akan memerlukan alat tukar nilai, yang dalam sistem masa kini disebut sebagai uang.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi, uang ternyata tidak hanya digunakan sebagai alat tukar nilai. Banyak kita dapati uang digunakan untuk kegiatan spekulasi. Sehingga, terjadi pergeseran kegunaan dari uang itu sendiri. Sebetulnya bagaimana Ekonomi Islam mendudukkan kegunaan dan fungsi uang? Nantikan ulasan berikutnya. zapfin
Prita Hapsari Ghozie, SE, MCom., GCertFinPlanning, CFP adalah seorang perencana keuangan independen. Prita mulai menempuh pendidikan formalnya di bidang ekonomi & keuangan sebagai mahasiswi S1 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia jurusan Akuntansi pada tahun 1998.
Tiga setengah tahun kemudian, ia berhasil lulus dan langsung melanjutkan pendidikan S2 di University of Sydney School of Business, Australia. Selama di Sydney, peraih gelar Master of Commerce ini sempat bekerja paruh waktu di Securities Institute of Australia dan berkenalan dengan ilmu perencanaan keuangan (Financial Planning).
0 komentar:
Posting Komentar