Sejumlah media internasional ternama disibukkan oleh “Pertempuran” politik dalam ajang pemilu Israel untuk memilih kepala distrik Al-Quds yang akan memimpin kota Kiblat Pertama Ummat Islam dan tempat isranya Rasulullah SAW, Al-Quds. Terjadi perdebatan seru apakah yang akan memimpin Al-Quds seorang yahudi sekuler ataukah seorang yahudi agamis.
Ada tiga kandidat yang maju menjadi pemimpin Al-Quds saat itu. Salah satunya seorang milyuner dan jenderal aktif di jajaran militer Israel, Neir Barokat. Kedua, tokoh radikal Israel yang masih bermimpi mendirikan “Israel Raya” yang membentang antara sungai Nil hingga Furat, namanya, Meir Burash. Dan ketiga, pengusaha dan seorang imigran asal Rusia yang sedang menghadapi pengadilan Prancis terkait tuduhan penyelundupan senjata, Arkadi Gaidamac. Para tokoh yahudi bersilang pendapat tentang siapa diantara ketiganya yang memiliki “darah yahudi” sehingga ia pantas memimpin Al-Quds. Semuanya sepakat untuk meyahudikan semua sisa ke-Arab-an yang masih nampak di Al-Quds dengan jalan memperluas wilayah permukiman yahudi hingga menjamin berdirinya satu-satunya ibu kota abadi bagi negara Zionis Israel dan berada di bawah otoritasnya secara penuh.
Sementara itu, para pemimpin Palestina di Ramallah yang masih amanah terhadap warisan ke-Arab-an Al-Quds, menganggap cukup dengan pengakuan dari sejumlah negara Arab dan Islam sebagai representasi legal bagi ke-Arab-an Palestina. Sebagaimana biasa, mereka juga menyerukan kepada warga Al-Quds untuk memboikot pemilu Israel tersebut. Karena keikutsertaan mereka bisa dijadikan alasan bagi Israel untuk menggabungkan Al-Quds timur ke dalam wilayah jajahan Israel. Untuk menyibukan para pemimpin tersebut dalam “Pertempuran Yang Merugikan” terutama kaitannya dengan legalitas Palestina, sejumlah media internasional ternama menyebut pertempuran ini dengan pertarungan identitas bagi koalisi Palestina dalam proses perdamaian ke depan. Apakah Palestina akan dipimpin oleh kalangan “Sekuler demokrastis” (kondisi ini masih mungkin diterima) ataukah kalangan “Islam Taat” namun jelas akan ditolak dan harus diblokade. Semua ini terjadi di tengah proses yahudisasi ibu kota Al-Quds baik dari segi spirit, politik, ekonomi ataupun sejarahnya bagi bangsa Arab Palestina dan kaum musliminnya. Baik bagi yang taat agamanya ataupun yang sekuler. Di sisi lain, terjadi kegamangan bagi sebagian pegawai Arab terkait persiapan realisasi dari keputusan sidang dewan menteri kebudayaan Arab pada 8 dan 9 Nopember 2006 lalu di Amman yang mau menjadikan Al-Quds sebagai ibu kota budaya Arab pada tahun 2009, menyusul terpecahnya Palestina dan sejumlah negara Arab dalam hal ini. Kegalauan juga melanda tentara Urmur dari kalangan Pemerintah otoritas Palestina di Al-Quds dan para penasehat perdana menteri urusan Al-Quds, juga persatuan Al-Quds di lingkungan kepresidenan dan komisi rakyat untuk perlindungan Al-Quds. Senada dengan atas puluhan komite kerajaan maupun republik baik di tingkat pemerintahan ataupun rakyat, di negara Arab ataupun Islam di sejumlah kota besar Arab dan belahan dunia lainya memandang penuh kecemasan atas situasi yang terjadi di Baitul Maqdis. Seperti tampak dalam sejumlah pernyataan mereka, baik yang lantang ataupun yang malu-malu, yang tersebar di sejumlah media informasi dan di pasang di berita utama atau head line. Namun semua itu mentok hanya sebatas pernyataan ataupun berita yang tak lebih dari sekedar seruan atau himbauan. Satupun tidak ada yang benar-benar memperhatikan untuk menyelamatkan Al-Quds dari bahaya yahudisasi yang mengancamnya. Karena membela al-Quds saat ini telah beralih dan menjadi tanggung jawab para juru runding seperti Ahmad Qurey yang disinyalir sejumlah media telah absent dari aktivitas politiknya, menyusul kelemahanya dalam perundingan dengan menlu Israel Tzipi Livni. Padahal Menlu Israel ini telah gagal melunakkan pemerintahnya dan lebih memilih terjun dalam bursa pemilihan perdana menteri mendatang. Ia lebih memilih membiarkan masalah Al-Quds tetap di meja perundingan ketika tidak sanggup menahan tekanan kuat terutama dari kalangan politisi Israel.
Lebih dari itu, berunding dalam masalah Al-Quds bisa mendorong pada kemungkinan pembagian kota tersebut bersama penduduknya yang berbeda ras dan keyakinan. Dan hal ini tentu tidak diinginkan Israel. Keikutsertaan para jenderal pada pemilu pekan kemarin adalah pertemuan terbesar yang diadakan terkait perluasan permukiman Israel. Hadir di situ, Jenderal Neir Barokat yang terpilih menjadi Kepala Distrik Israel di Al-Quds, juga hadir jenderal dan bekas pilot pesawat tempur Ron Holiday di Tel Aviv. Barokat mengisyaratkan, negara Israel yang tengah membangun di tengah perdamaian adalah bagian dari “Pertempuran yang membayakan” yang terus berlangsung dalam konflik entitas kedua bangsa di satu negara Baitul Maqdis. Strategi ini bertentangan dengan kesibukan Palestina dan Arab untuk mempersiapkan pembukaan Launching Perayaan Al-Quds sebagai Ibu kota Budaya Arab pada akhir Januari tahun 2009 mendatang. Acara ini akan diikuti oleh para seniman dari berbagai negeri Arab dan Palestina. Menjelang acara tersebut diperkirakan akan banyak permintaan visa masuk dan permintaan izin dari pemerintah Israel termasuk pada Jenderal Barokat. Seperti diketahui, Jenderal Barokat menolak memberikan berbagai kemudahan bagi warga Palestina di Al-Quds. Alasan inilah yang menyababkan ia mengundurkan diri dari partai Kadema. Dalam sejumlah pernyataannya pasca kemenanganya pada pemilihan kepala distrik Al-Quds. Ia mengajukan program kerja untuk menjamin keberadaaan Al-Quds sebagai ibukota abadi dan satu-satunya bagi Israel, melalui dua program utama. Yaitu, pertama, memasivkan permukiman dan penjajahan di wilayah timur Al-Quds. Terutama membangun koloni permukiman yahudi terbesar di Anata yang saat ini dikenal dengan nama E-1. Di tempat inilah, Israel telah membangun kantor komando kepolisianya untuk wilayah Tepi Barat, dalam rangka menutupi satu-satunya celah yang masih tersisa bagi Palestina, ditengah hamparan permukiman yang dibangun Isreal di sekitar Al-Quds timur. Komplek permukiman ini akan menghubungkannya dengan permuikiman Isreal yang berada di bagian luar Al-Quds (Al-Quds Raya), bersatu dengan wilayah permukiman terbesar Israel, Maale Adumem di Tepi Barat, sebelah timur Al-Quds. Wilayah ini nantinya akan menjadi kota terbesar yang terletak antara Al-Quds dan Sungai Yordan dengan pengggabungan dua wilayah jajahan, Kaidar 1 dan Kaidar 2 ke dalamnya. Adapun program kedua yang diusung jenderal Barokat ini adalah, menjadikan Al-Quds sebagai kota internasional yang akan menarik puluhan juta wisatawan dalam sepuluh tahun ke depan. Al-Quds akan menjadi kota budaya dunia, seperti New York yang menjadi ibu kota dana dan perdagangan serta kota konspirasi politik dunia.
Tempat berkumpulnya para ekonom, pejabat tinggi, di tengah krisis ekonomi Amerika yang sedang mengglobal. Ditengah persiapan pembukaan Sinagog terbesar di dunia di Al-Quds, dalam dua bulan ke dapan ini, pakar strategi Israel di Hebron, Kholil Tafkaji mengatakan, Kubbah sinagog yang akan dibangun Israel besarnya sama dengan Kubbah Sakhra yang kini berada di tengah areal masjid Al-Aqsha. Rencana ini jelas membahayakan eksistensi Al-Aqsha. Terkait strategi yahudisasi kota Al-Quds menjelang tahun 2020, nasib Al-Quds akan seperti kota Andalusia di Spanyol. Jika kondisi Palestina dan dunia seperti saat ini yang hanya mencari perdamaian, bukan perombakan total. Maka baitul Baitul Maqdis hanya tinggal kenangan. Dia hanya sebagai waritsan budaya sebagaimana terjadi di Andalusia. Umat Islam hanya bisa menangisinya melalui lantunan nasyid Majdi Gabir. Ribuan nyawa sia-sia ditelan konspirasi dan pertentangan konflik Palestina saat ini. Di tengah pertempuran yang dimenangkan Israel dalam sisi yahudisasinya. Sementara Palestina tenggelam dalam harapan yang mengawang-awang melalui perundingan demi perundingan dengan Israel. Belum diketahui siapa diantara keduanya yang akan memenangkan identitas Baitul Maqdis.
Nicola Naser, Harian Al-Watan Qatar
0 komentar:
Posting Komentar